Powered By Blogger

Selasa, 11 Juni 2013

Artikel Tentang Gizi Buruk



Cegah Gizi Buruk, Program Promotif-Preventif Kesehatan Mesti Ditingkatkan
May 1, 2013 | Posted by yogiachmad in Berita DD,
BOGOR- Demi mewujudkan kesehatan masyarakat, terutama sejak bayi, berbagai program promotif-preventif kesehatan mesti terus ditingkatkan. Sosialisasi dan penyuluhan menjadi beberapa aktivitas yang menjadi instrumen pengejawantahan program.
“Di Divisi Kesehatan Dompet Dhuafa diantaranya kita punya program sahabat bayi dalam melakukan kegiatan promotif-preventif tentang gizi,” terang Abdul Ghofur, General Manager Program Kesehatan Dompet Dhuafa, Selasa, (30/4) di Bogor.
Program tersebut, kata Ghofur, diantaranya berisi mensosialisaikan kepada masyarakat tentang pentingnya Air Susu Ibu (ASI). Selain mengenalkan ASI, terdapat manajemen laktasi, yakni bagaimana menyusui dengan benar dan berbagai hal lain yang berhubungan dnegan ASI.
“Program ini digulirkan untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Program sahabat bayi juga dilakukan termasuk saat terjadi bencana,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaannya, program sahabat bayi bergulir di berbagai pos sehat yang diinisiasi oleh Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa. Sosialisasi mengenai tuberculosis (TBC), kanker serviks, demam berdarah, dan berbagai informasi penyakti juga dilakukan di pos sehat tersebut.
“Pos sehat berada di 32 titik di seluruh Indonesia dan berbasis masjid. Setiap titik memiliki kader. Jumlah kader seJabodetabek berjumlah 400 orang. Sedangkan untuk seluruh Indonesia bisa lebih dari 1000 kader,” jelasnya.
Ghofur menjelaskan, para kader tersebut menjalankan tugas mensosialisasikan dan memberikan berbagai pelatihan kepada masyarakat tentang berbagai isu kesehatan. Mereka pula lah yang merujuk masyarakat bila sakit untuk ke puskesmas dan rumah sakit.
Masalah gizi buruk pada dasarnya tidak hanya masalah di bidang kesehatan. Pasalnya, bila keluarga tidak mampu maka tidak mampu pula membeli makanan bergizi. Maka, ujungnya adalah kekurangan asupan makanan bergizi sehingga rentan terkena penyakit.
“Sehingga dalam penanganannya mesti mengintegrasikan berbagai program, salah satunya ekonomi guna mengubah kondisi kesejahteraan,” pungkasnya. (gie)


Dalam Kondisi Kritis
Balita Gizi Buruk
indosiar.com, Situbondo - Dua balita dari kalangan keluarga miskin di Situbondo, Jawa Timur terpaksa dirawat dalam kondisi kritis di rumah sakit setelah menderita kekurangan gizi akut. Selain karena faktor kemiskinan, kedua balita ini mengalami gizi buruk lantaran minimnya kesadaran orangtua tentang pentingnya memperhatikan pola hidup sehat pada bayi.
Kasus gizi buruk kali ini menimpa dua balita di Situbondo, yakni Dea Ayu Kumalasari, warga Desa Kilengsari dan Nur Azharia, warga Kelurahan Panji, Situbondo. Kini keduanya masih dalam kondisi kritis dan dibawah penanganan serius tim dokter RSUD Situbondo.
Berat badan yang berada dibawah ideal membuat kedua balita ini hanya bisa terkulai di ruang perawatan rumah sakit. Dea Ayu Kumalasari, balita berumur 18 bulan ini misalnya. Putri kedua pasangan Subagio dengan Fatimah ini sejak berumur 6 bulan berat badannya tak juga naik, bahkan menurun. Jika idealnya untuk anak seusianya memiliki berat badan 12 kilogram, namun Dea hanya memiliki berat badan 5 kilogram.
Karena kemiskinan orangtuanya, Dea jarang sekali mendapatkan asupan gizi seperti susu formula dan bubur bayi. Sejak lahir Dea bahkan hanya diberi minum air gula.
Hal yang serupa juga menimpa Nur Azharia, putri pertama pasangan Subur Yadi dengan Sumiyan ini menderita gizi buruk sejak 2,5 tahun lalu. Secara berangsur-angsur berat balita tersebut menyusut hingga 12 kilogram. Padahal anak seusianya memiliki berat badan ideal 25 hingga 30 kilogram.
Balita ini mengalami gizi buruk akut hingga seluruh tulang-tulangnya tampak sangat menonjol. Sekujur kulit di kedua pahanya bahkan melepuh dan sulit digerakkan. Kendati telah mendapat fasilitas berobat gratis, namur Subur Yadi berharap pemerintah membantu hingga anaknya benar-benar sembuh dan dapat kembali bersekolah. Pasalnya sejak 2,5 tahun silam, putrinya tak bisa melanjutkan sekolah lantaran penyakit yang dideritanya.
Syaiful Rahman, dokter spesialis anak RSUD Situbondo menjelaskan, selain akibat faktor kemiskinan kekurangan gizi pada balita biasanya juga disebabkan karena minimnya kesadaran orangtua tentang pentingnya memperhatikan pola hidup sehat pada bayi hingga bayi mudah terjangkit penyakit lainnya. (Tommy Iskandar/Sup)


oleh Ahmad Salman
Posted: 28/04/2013 09:08
15 Balita di Malang Menderita Gizi Buruk
(Liputan6 TV)
Sebanyak 15 dari 67.486 bayi berusia di bawah 5 tahun di Kota Malang, Jawa Timur, mengalami gizi buruk. Jumlah itu mengalami penurunan di Kota Malang.

"Setiap tahun jumlah penderita gizi buruk di daerah ini terus menurun dan tahun ini masih menyisakan sekitar 15 balita," kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang Supranoto di Malang, Minggu (28/4/2013).

Pada 2011, balita yang mengalami gizi buruk berjumlah 72 jiwa. Dan setahun kemudian pada 2012 turun menjadi 28 balita. "Balita yang menderita gizi buruk tersebut sebagian besar memang dari keluarga miskin yang minim pemahaman tentang asupan gizinya bagi balita," ucap Supranoto.

Karena itu, lanjut Supranoto, penanganan bayi harus melibatkan sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, baik yang menangani masalah kemiskinan, kesehatan serta sosial.

Selain bekerja sama dengan SKPD terkait lain, ujar Supranoto, Dinkes juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp 547 juta. Biaya itu diperuntukkan bagi penanganan masalah gizi buruk dengan cara memberikan suplemen makanan rehabilitasi serta multi vitamin.

Suplemen makanan rehabilitasi itu diberikan selama 90 hari hingga ada kenaikan berat badan. Dinkes akan terus melakukan pemantauan kesehatan para balita gizi buruk itu melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang tersebar di 57 kelurahan, bahkan di setiap RW.

Menanggapi masih adanya penderita gizi buruk di kalangan balita itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Malang Fransiska Rahayu Budiwiarti mengaku jika pihaknya akan memanggil Dinkes. Pemanggilan itu untuk mengetahui lebih detail kondisi balita yang menderita gizi buruk.

"Kita harus bekerja sama dengan berbagai instansi untuk menuntaskan permasalahan gizi buruk di Kota Malang. Kita akan menggali informasi secara detail dan mencari solusi terbaik bagaimana upaya kita agar Kota Malang ini terbebas dari balita gizi buruk," jelas politisi dari Partai Demokrat itu.(Ant/Ais)


Balita Derita Gizi Buruk Meninggal

Minggu, 24 Maret 2013 16:33 WIB

Negara (ANTARA News) - Ahmad Rahman Lutfi (1), putra pasangan nelayan miskin Junaedi dan Saida di Desa Candikusuma, Kabupaten Jembrana, Bali, meninggal karena kekurangan gizi.
"Keberadaan bayi ini sudah kami ketahui sejak sekitar 2 bulan lalu, dan sudah mendapatkan bantuan tambahan asupan makanan bergizi," kata Kepala Dinas Kesehatan Jembrana, dr Putu Suasta, MKes saat dikonfirmasi di Negara, Minggu.
Suasta mengungkapkan, dari pemeriksaan medis, selain gizi buruk, balita ini juga menderita radang paru-paru yang memperburuk kondisinya.
"Memang ada radang paru-paru yang menyebabkan infeksi, tapi faktor utama meninggalnya anak ini karena gizi buruk," ujarnya.
Sementara Saida, ibu Rahman mengatakan, anaknya tersebut lahir prematur, dan kondisinya memburuk sekitar dua minggu terakhir.
"Sudah dua kali dirawat di RSU Negara. Yang terakhir ini, sebenarnya mau dibawa kesana lagi, tapi kami tolak karena tidak memiliki biaya untuk makan sehari-hari," kata Saida.
Sebelumnya di desa yang sama juga ditemukan Umam (2), yang menderita gizi buruk. Anak pasangan Hermanto dan Azizah ini belum bisa berjalan, sebagaimana balita seusianya.
"Kami baru tahu ada balita gizi buruk bulan lalu. Saat ini pemberian makanan tambahan sudah mulai diberikan," kata Kepala Dinas Kesehatan Jembrana, dr Putu Suasta, MKes.


Rabu, 24 April 2013 | 11:40 WIB
Kota Malang Gagal Terbebas dari Gizi Buruk
TEMPO.CO, Malang - Kota Malang gagal membebaskan diri dari gizi buruk. Saat ini sebanyak 15 balita mengalami gizi buruk. "Asupan gizi rendah, sebagian besar dari keluarga miskin," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Supranoto, Rabu, 24 April 2013.
Target terbebas dari gizi buruk, katanya, sulit terlampaui karena masih banyak keluarga miskin. Sementara itu, target Kementerian Kesehatan pada 2014 hanya mentoleransi sebanyak 3 persen balita gizi buruk dari jumlah kelahiran. Sedangkan penderita gizi buruk di Malang tak sampai 3 persen dari jumlah balita.

Total balita sebanyak 67.486 jiwa, 2012 sebanyak 61.272 balita. Untuk menangani balita gizi buruk, Dinas Kesehatan menganggarkan dana sebesar Rp 547 juta. Dana di antaranya digunakan untuk belanja makanan tambahan, vitamin, mineral, dan upaya rehabilitasi medik. "Gizi buruk tak hanya faktor kesehatan, kemiskinan dan sosial juga berperan," katanya.

Intervensi makanan tambahan diberikan selama 90 hari. Selama rehabilitasi, balita mendapat perhatian dan pegawasan khusus sampai berat badan kembali ke kondisi ideal. Selain itu, dilakukan pemeriksaan rutin, di antaranya melibatkan 650 pos pelayanan terpadu yang tersebar di 57 kelurahan di Malang. "Jika ditemukan gizi buruk langsung diintervensi," kata Supranoto.

Ketua komisi kesejahteraan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Fransiska Rahayu Budiwiarti meminta Dinas Kesehatan untuk lebih detail mengawasi balita gizi buruk. Agar Kota Malang terbebas dari gizi buruk. "Kami tak pernah menerima laporan data kasus gizi buruk," katanya.

Menurutnya, jumlah keluarga miskin di Kota Malang terus menurun. Indikatornya, katanya, sesuai survei Badan Pusat Statistik dan penerima beras untuk keluarga miskin pun turun. Sehingga ia kaget jika masih ditemukan balita gizi buruk di Malang.


Permasalahan Gizi Cakup Semua Kalangan
Kamis, 7 Februari 2013 | 07:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Permasalahan gizi di Indonesia tidak hanya dialami oleh masyarakat miskin, melainkan hampir merata di semua tingkat pendapatan. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 5 tingkat penggolongan pendapatan masyarakat di Indonesia, gizi buruk atau kurang masih ditemukan.

"Ada beberapa indikasi dari gizi buruk atau kurang, antara lain berat badan kurang, stunting (anak bertumbuh pendek), dan kelebihan berat badan," papar Ketua Sub Bina Gizi Makro Kementerian Kesehatan Mohammad Nasir dalam talkshow bertajuk 'Gizi Seimbang untuk Kesehatan dan Kecerdasan Anak' di Jakarta, Rabu (6/2/2013).

Data tersebut menyebutkan untuk golongan pertama yaitu golongan termiskin, masih ditemukan gizi kurang untuk indikasi berat badan kurang sebanyak 28,6 persen, stunting 47,8 persen, kelebihan berat badan 12,4 persen; golongan kedua untuk berat badan kurang 19,9 persen, stunting 42,4 persen, kelebihan berat badan 12,4 persen; golongan ketiga untuk berat badan kurang 17,3 persen, stunting 37,9 persen, kelebihan berat badan 12,9 persen; golongan empat untuk berat badan kurang 15,6 persen, stunting 34,4 persen, kelebihan berat badan 14,2 persen; dan golongan lima untuk berat badan kurang 10,8 persen, stunting 28,9 persen, dan kelebihan berat badan 14,9 persen.

"Permasalahan gizi masih merata. Logikanya jika pendapatan baik, jarang ditemukan adanya kekurangan gizi, namun nyatanya masih ada. Sebaliknya, di masyarakat miskin malah ditemukan kelebihan badan," ungkap Nasir.

Menurut Nasir, gizi merupakan indikasi penting kesehatan. Oleh karena itu, untuk menjadikan masyarakat sehat, gizi penting untuk diperbaiki. Nasir menambahkan, Indonesia memiliki tiga prasyarat menuju keadaan gizi individu dan masyarakat yang lebih berkualitas. Pertama adalah setiap individu mendapatkan akses terhadap informasi gizi melalui Gerakan Nasional Sadar Gizi.

"Masyarakat perlu mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi tentang gizi," katanya.

Kedua, setiap individu mendapatkan akses terhadap pangan melalui peningkatan produksi pangan dan perbaikan pendapatan. Dan yang ketiga, setiap individu mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan melalui reformasi pembangunan kesehatan.


Rabu, 18 Januari 2012 | 20:40
Kasus Gizi Buruk, Indonesia Masuk Lima Besar
Namun kasus gizi buruk pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1990 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010.

Hingga kini Indonesia masuk dalam lima besar untuk kasus gizi buruk. Untuk menanggulangi masalah tersebut kementerian kesehatan (kemenkes) menyediakan anggaran hingga Rp700 miliar per tahunnya.

Saat ini kemenkes memrioritaskan penanggulangan gizi buruk di enam provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTB dan NTT.

Enam provinsi itu diprioritaskan karena masih banyaknya kasus gizi buruk ditemukan.

Demikian yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih di Seminar Nasional Pangan dan Gizi 2012 di Jakarta, hari ini.

"Masalah gizi itu penting karena berhubungan dengan kualitas bangsa Indonesia. Kita punya program Seribu Hari Pertama untuk Negeri yaitu masa kritis perkembangan fisik dan intelektual anak," ujarnya.

Program tersebut merupakan penjabaran dari gerakan Scaling-Up Nutrition Movement, yang dicanangkan PBB pada September 2011.

"PBB mengajak negara-negara anggotanya untuk melakukan perbaikan gizi yang antara lain memfokuskan pada seribu hari pertama kehidupan. Kami telah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB menyampaikan kesanggupan bergabung dalam gerakan ini," kata Menkes.

Secara nasional, diperkirakan ada sekitar 4,5 persen dari 22 juta balita atau 900 ribu balita mengalami gizi kurang atau gizi buruk.

Meski demikian, Menkes mengungkapkan bahwa angka prevalensi gizi kurang pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1990 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010.

Menkes juga menyatakan Indonesia berhasil menanggulangi masalah gizi mikro dimana defisiensi vitamin A sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat serta gangguan akibat kekurangan yodium makin berkurang.

"Pemerintah tidak lagi memberikan kapsul yodium sebagai pencegahan. Demikian pula untuk prevalensi anemia gizi telah ada perbaikan dan masalah gizi mikro lainnya seperti zink,kalsium, fosfor, beberapa vitamin dan mineral esensial selalu dipantau," ujarnya.


Senin, 24 September 2012 | 13:50 WIB

Ibu Makan Seadanya, Anak Tumbuh Pendek

TEMPO.CO, Jakarta - Sudah kurus, pendek pula. Itulah Yanuarius Tole, bocah hampir tiga tahun asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Tempo mendapatinya tengah digendong sang ibu di Puskesmas Beru, Kabupaten Sikka, pada Sabtu pekan lalu.
Berdasarkan data timbangan dan ukuran tinggi badan, Yanuarinus kalah jauh ketimbang bocah umumnya yang seusia dengannya. “Barusan ditimbang beratnya 9,2 kilogram,” kata Sicilia, sang ibu. "Tingginya 60 sentimeter."

Di NTT, kondisi yang dialami Yanuarius juga dialami banyak anak lainnya. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Delly Passande, mengatakan satu dari dua anak di Sikka mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan atau stunting. Angka ini berada di atas angka nasional yaitu 35 persen.

NTT adalah provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi yaitu 58 persen. “Sebabnya adalah gizi buruk yang dialami janin dalam 1000 hari pertama sejak dalam masa kandungan sampai usia tiga tahun,” kata Delly saat ditemui di kantornya.

Dia menjelaskan, stunting adalah gangguan pertumbuhan yang terjadi pada balita di mana pertambahan tinggi badan anak tidak sesuai dengan pertambahan umur. Pencegahannya dapat dilakukan sejak masa pra-kehamilan dimana seorang ibu harus mempunyai berat badan yang cukup sesuai dengan tinggi badannya.

Selain itu calon ibu juga harus mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk menjaga pertambahan berat badan yang ideal untuk kehamilannya. Masa kehamilan dan menyusui menjadi sangat penting bagi seorang ibu karena akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

Sicilia mengakui gejala-gejala itu. Rendahnya pendidikan dan tingkat ekonomi keluarga, membuat Sicilia tidak menghiraukan asupan gizi anak-anaknya sejak masa kandungan. “Makan seadanya saja,” kata perempuan 45 tahun itu.



oleh Abdi Susanto ; Posted: 27/03/2013 11:40
Persentase penyandang gizi buruk di Indonesia secara nasional saat ini tercatat 4,7 persen, kata Kasubdit Bina Gizi Klinis Kementerian Kesehatan Andry Harmami.
"Jangan salah mengartikan gizi buruk. Saat ini secara nasional gizi buruk di Indonesia 4,7 persen," kata Andry seperti dikutip Antara, Rabu (27/03/2013).
Ia mengatakan tidak sedikit masyarakat yang salah paham terkait angka persentase penyandang gizi buruk di Indonesia. Hal itu mengakibatkan seolah-olah persentase gizi buruk tinggi.

Dia menjelaskan, secara umum kekurangan gizi disebut "underweight" atau gizi kurang. Ketika kekurangan gizi itu sudah sampai tingkat berat, baru dapat dikatakan sebagai gizi buruk.
"Nah tingkat kekurangan gizi di Indonesia itu 17,9 persen, tapi yang masuk kategori gizi buruk 4,7 persen. Jadi ini saya coba meluruskan," kata dia.
Dia mengatakan secara kasat mata seseorang bisa dikategorikan sebagai penyandang gizi buruk apabila tubuhnya kurus kering bak hanya menyisakan tulang dan kulit.
"Saat ini dari 4,7 persen angka gizi buruk, paling banyak di Indonesia timur seperti NTT dan NTB, karena di sana SDM-nya baik masyarakat dan petugas medisnya kurang, tidak seperti di Jawa," ujar dia. (Abd)


oleh Aditya Eka Prawira ; Posted: 25/02/2013 11:09

Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi.
Angka penurunan gizi buruk di Indonesia baru mencapai 14 persen. Tapi, dalam tahun terakhir penurunan itu sangat landai tak bisa cepat lagi sehingga dikhawatirkan target Millenium Development Goals (MDG's) 2015 sebesar 15% tak tercapai.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi melihat Hari Gizi Nasional mempunyai makna yang sangat luar biasa. Di Indonesia, kasus kurang gizi sudah menurun meski belum memuaskan. Namun, Nafsiah berharap para ahli bisa berpartisipasi dalam membahas cara menurunkan kurang gizi yang bisa berakibat gizi buruk.

Nafsiah mengatakan, angka penurunan gizi buruk di Indonesia sudah mencapai 14 persen. Tapi, dalam tahun terakhir penurunan itu sangat landai tak bisa cepat lagi.

"Gizi kurang ini termasuk salah satu MDG's yang kemungkinan tidak bisa dicapai," ujar Nafsiah dalam sambutan Puncak Peringatan Hari Gizi Nasional tahun 2013 dengan tema 'Mewujudkan Gizi Seimbang untuk Mengatasi Masalah Gizi Ganda, di Balai Kartini, Jakarta, Senin (25/2/2013).

Prevalensi kekurangan gizi pada balita harus dapat mencapai target MDGs sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Sedangkan pada 1989 angkanya 31 persen dan tahun 2007 sebesar 18,4 persen. Pemerintah harus menurunkan pervalensi gizi kurang pada tahun 2015 menjadi setengah dari keadaan tahun 1990.

Nafsiah mengibaratkan penurunan gizi buruk itu layaknya loncat tinggi. Untuk mencapai 1 kilometer pemerintah masih bisa melakukannya, tapi makin lama makin tinggi maka dibutuhkan tenaga ekstra.

"Tidak hanya kemampuan atau latihan supaya bisa loncat, tapi kita harus memakai sepatu khusus. Harus memakai tongkat yang khusus juga. Kita harus sudah bisa memperhitungkannya," tegasnya.

"Saat ini, kita sudah menurunkan gizi buruk sampai 14 persen. Akan tetapi, untuk menurunkan lebih dari itu, kita membutuhkan effort khusus. Harus out of the box. Tidak hanya bisa sekadar bisnis dan tidak boleh lagi berbau bisnis," ujarnya.

"Oleh karena itulah, maka saya memohon kehadiran para ahli di sini untuk membahas bagaimana menurunkan lagi gizi buruk untuk yang terakhir kalinya," pungkasnya.

Hari Gizi Nasional selalu diperingati setiap 25 Januari. Dan Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah yang mengalami kekurangan gizi. Anak-anak yang mengalami gizi kurang biasanya karena tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai usiannya.

Kurang gizi biasanya ditandai dengan badan yang kurus, karena berat badannya kurang untuk anak seusianya. Tubuh anak yang kurang gizi juga lebih pendek dibanding anak seusianya. Dan jika masalah kekurangan gizi ini tidak kunjung diatasi, anak itu akan mengalami masalah gizi buruk.

8 target MDG's yang harus dipenuhi pemerintah hingga 2015 adalah:

1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

Prevalensi kekurangan gizi pada balita harus dapat mencapai target MDGs sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Sedangkan pada 1989 angkanya 31 persen dan tahun 2007 sebesar 18,4 persen.

Pemerintah harus menurunkan pervalensi gizi kurang pada tahun 2015 menjadi setengah dari keadaan tahun 1990.

2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua

Di tahun 2015, warga harus sudah mendapat sektor pendidikan dasar dan melek huruf. Dilanjutkan dengan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar universal.

3. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan

Meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun 2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24 tahun telah mencapai 99,85.

Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efektif menuju (on-track) pencapaian kesetaraan gender yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015.

4. Menurunkan Angka Kematian Anak

Pemerintah harus bisa menurunkan angka kematian bayi menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Sementara angka kematian bayi tahun 1991 sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup dan tahun 2007 sudah sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup.

5. Meningkatkan Kesehatan Ibu

Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun menjadi sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Tahun 1991 angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) masih sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.

6. Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2015.

Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009.

7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Menurunkan hingga separuhnya proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar yang layak pada 2015.

Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Tahun 2015 target warga yang bisa akses air minum layak harus menjadi 65% ke atas.

8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.(Mel/Igw)

0 komentar:

Posting Komentar