Negeri ini
sedang kacau balau dengan pelbagai konflik horizontal maupun vertikal. Saya rasa
sebagian besar konflik tersebut bisa dihindari dengan satu kata sederhana,
yaitu “mengalah”. Tapi rasanya kata ini sudah makin terlupakan ke
dalam belantara persaingan masa kini yang semakin ketat. Manusia berlomba
mencapai segala sesuatu yang terbaik (menurutnya), kadang tanpa peduli mesti
saling senggol kanan & kiri.
Kita tidak
mau kalah dalam banyak hal, dan saya rasa itu sebenarnya sebuah sikap yang
baik jika ditujukan untuk hal-hal yang baik & berguna. Seperti meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan ataupun meningkatkan mutu pendidikan, agar kita
tidak kalah dengan negera-negara lain di dunia dan dengan demikian kita juga
bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas di negeri ini.
Namun
demikian, ada beberapa benturan yang kadang sulit dihindari karena jalan yang
diambil masing-masing pihak saling menyilang. Guna meningkatkan mutu pendidikan,
tidak mesti memaksa siswa membeli buku pelajaran atau mengikuti les-les tertentu,
apalagi kemudian jika ada siswa yang berasal dari keluarga tak mampu, maka
tentu ini akan menjadi beban yang hebat baginya dan keluarganya.
Jadi pihak
pendidik bisa mengalah, mundur selangkah, dan memberi jalan bagi siswa untuk
maju tanpa dihadang kesulitan yang diciptakan lingkungan pendidikan, dan
dengan demikian tabrakan bisa dihindari, dan lingkungan pendidikan pun bisa
tetap melaju kemudian. Hal-hal ini bisa diterapkan dalam pelbagai ranah
kehidupannya lainnya.
Mengalah bukanlah berarti mengaku
salah & kalah, pun mengingkari kebenaran sesuai nurani. Dalam kata bijak Tiongkok
lama, jika dua orang berpapasan di perseberangan, siapa yang mundur satu
langkah untuk memberi jalan pada yang lainnya, maka ia akan bisa meju seribu
langkah ke dapan.
Mengalah
itu susah, karena kita berpikir selalu untuk berpacu dengan waktu, ingin
paling depan, ingin mendapat perlakuan sama, tidak mau dikesampingkan, dan
semua yang kita pikirkan hanyalah tentang kepentingan kita sendiri – atau
dengan kata lain, karena kita manusia memiliki keegoisan. Untuk bisa mengalah, kita mesti bisa menanggalkan keegoisan kita, dan
menyentuh sesuatu yang disebut keikhlasan. Dan sesuatu yang disebut keikhlasan
bukanlah sesuatu yang dibuat-buat karena kita menganut teori “mengalah” –
namun sesuatu yang hadir dengan sendirinya ketika segala egoisme rontok oleh
kesadaran kita sendiri.
Jika Anda
merasa terbebani saat merelakan antrian diminta oleh mereka yang lebih memerlukan,
maka Anda belum memahami makna kata mengalah. Jika Anda merasa kalah karena
tidak tiba digaris akhir perlombaan ketika mesti berhenti untuk menolong
seseorang di jalan, maka keikhlasan itu bisa jadi sebentuk kepalsuan.
Memahami
mengalah bukanlah memahami makna katanya, namun memahami diri kita sendiri.
Jika Anda bisa melihat hati anda tersenyum bahagia ketika memberikan kursi
anda di bus pada orang lain, mungkin anda telah siap untuk memahami diri anda
lebih dalam lagi.
Mengalah
tidak menunjukkan bahwa manusia itu bersekat dan berkelas sehingga yang
lebih lemah dan lebih bawah bisa diinjak-injak dengan istilah mengalah. Mengalah
merupakan kesadaran bahwa pada dasarnya seluruh kemanusiaan itu adalah setara.
Anda tidak mengalah karena Anda merasa rendah dan mesti menunduk patuh, atau
Anda merasa tinggi dan mesti memberikan teladan untuk pencitraan yang baik.
Anda mengalah karena Anda melihat diri anda pada orang yang ada di hadapan
anda.
Mengalah bukanlah rumusan
matematika yang membuat orang dapat menghitung untung & rugi sebuah
putusan, sehingga tidaklah layak jika mengalah diterima sebagai sebuah saran. Tanpa
kesadaran dan hanya dengan perhitungan, manusia hanya akan menciptakan
harapan serta tuntutan terpendam, yang kemudian waktu jika tidak berjodoh
akan melahirkan kekecewaan dan konflik yang baru lagi.
Jika di
hadapan penuh sesak, mundurlah barang beberapa langkah, biarkan seluruh
sesak itu lewat. Dan mungkin Anda akan menyaksikan kemudian, betapa lapang
dan indahnya dunia ini.