Powered By Blogger

Kamis, 18 April 2013

Mengenal Mengalah


Negeri ini sedang kacau balau dengan pel­ba­gai kon­flik horizon­tal maupun ver­tikal. Saya rasa sebagian besar kon­flik ter­sebut bisa dihin­dari dengan satu kata seder­hana, yaitu “meng­alah”. Tapi rasanya kata ini sudah makin ter­lupakan ke dalam belan­tara per­saingan masa kini yang semakin ketat. Manusia ber­lomba men­capai segala sesuatu yang ter­baik (menurut­nya), kadang tanpa peduli mesti saling seng­gol kanan & kiri.
Kita tidak mau kalah dalam banyak hal, dan saya rasa itu sebenar­nya sebuah sikap yang baik jika ditujukan untuk hal-hal yang baik & ber­guna. Seperti mening­katkan mutu pelayanan kesehatan ataupun mening­katkan mutu pen­didikan, agar kita tidak kalah dengan negera-negara lain di dunia dan dengan demikian kita juga bisa mening­katkan kesejahteraan masyarakat luas di negeri ini.
Namun demikian, ada beberapa ben­turan yang kadang sulit dihin­dari karena jalan yang diam­bil masing-masing pihak saling menyilang. Guna mening­katkan mutu pen­didikan, tidak mesti memaksa siswa mem­beli buku pelajaran atau meng­ikuti les-les ter­tentu, apalagi kemudian jika ada siswa yang ber­asal dari keluarga tak mampu, maka tentu ini akan men­jadi beban yang hebat baginya dan keluarganya.
Jadi pihak pen­didik bisa meng­alah, mun­dur selang­kah, dan mem­beri jalan bagi siswa untuk maju tanpa dihadang kesulitan yang dicip­takan ling­kungan pen­didikan, dan dengan demikian tabrakan bisa dihin­dari, dan ling­kungan pen­didikan pun bisa tetap melaju kemudian. Hal-hal ini bisa diterapkan dalam pel­ba­gai ranah kehidupan­nya lainnya.
Meng­alah bukanlah ber­arti meng­aku salah & kalah, pun meng­ing­kari kebenaran sesuai nurani. Dalam kata bijak Tiong­kok lama, jika dua orang ber­papasan di per­seberangan, siapa yang mun­dur satu lang­kah untuk mem­beri jalan pada yang lain­nya, maka ia akan bisa meju seribu lang­kah ke dapan.
Meng­alah itu susah, karena kita ber­pikir selalu untuk ber­pacu dengan waktu, ingin paling depan, ingin men­dapat per­lakuan sama, tidak mau dikesam­pingkan, dan semua yang kita pikirkan hanyalah ten­tang kepen­tingan kita sen­diri – atau dengan kata lain, karena kita manusia memiliki keegoisan. Untuk bisa meng­alah, kita mesti bisa menang­galkan keegoisan kita, dan menyen­tuh sesuatu yang disebut keikh­lasan. Dan sesuatu yang disebut keikh­lasan bukanlah sesuatu yang dibuat-buat karena kita meng­anut teori “meng­alah” – namun sesuatu yang hadir dengan sen­dirinya ketika segala egoisme ron­tok oleh kesadaran kita sendiri.
Jika Anda merasa ter­bebani saat merelakan antrian diminta oleh mereka yang lebih memer­lukan, maka Anda belum memahami makna kata meng­alah. Jika Anda merasa kalah karena tidak tiba digaris akhir per­lom­baan ketika mesti ber­henti untuk menolong seseorang di jalan, maka keikh­lasan itu bisa jadi seben­tuk kepalsuan.
Memahami meng­alah bukanlah memahami makna katanya, namun memahami diri kita sen­diri. Jika Anda bisa melihat hati anda ter­senyum bahagia ketika mem­berikan kursi anda di bus pada orang lain, mung­kin anda telah siap untuk memahami diri anda lebih dalam lagi.
Meng­alah tidak menun­jukkan bahwa manusia itu ber­sekat dan ber­kelas sehingga yang lebih lemah dan lebih bawah bisa diinjak-injak dengan istilah meng­alah. Meng­alah merupakan kesadaran bahwa pada dasar­nya seluruh kemanusiaan itu adalah setara. Anda tidak meng­alah karena Anda merasa ren­dah dan mesti menun­duk patuh, atau Anda merasa tinggi dan mesti mem­berikan teladan untuk pen­citraan yang baik. Anda meng­alah karena Anda melihat diri anda pada orang yang ada di hadapan anda.
Meng­alah bukanlah rumusan matematika yang mem­buat orang dapat meng­hitung untung & rugi sebuah putusan, sehingga tidaklah layak jika meng­alah diterima seba­gai sebuah saran. Tanpa kesadaran dan hanya dengan per­hitungan, manusia hanya akan men­cip­takan harapan serta tun­tutan ter­pen­dam, yang kemudian waktu jika tidak ber­jodoh akan melahirkan kekecewaan dan kon­flik yang baru lagi.
Jika di hadapan penuh sesak, mun­dur­lah barang beberapa lang­kah, biarkan seluruh sesak itu lewat. Dan mung­kin Anda akan menyak­sikan kemudian, betapa lapang dan indah­nya dunia ini.

0 komentar:

Posting Komentar